Makalah Pemikiran Al-Kindi. Filsafat Islam
MAKALAH
PEMIKIRAN AL-KINDI
Matkul Filsafat Islam
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .............................................................................................
DAFTAR
ISI ............................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ..............................................................................................
B.
Rumusan Masalah .........................................................................................
C.
Tujuan ...........................................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN
A. Lahirnya Filosof Muslim Pertama (Al-Kindi) ...............................................
B. Definisi Filsafat al-Kindi ..............................................................................
C.
Filsafat Al-Kindi ...........................................................................................
D. Pemaduan Filsafat dan Agama al-Kindi .......................................................
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan ...................................................................................................
B.
Saran .............................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Kindi adalah filosof Islam pertama yang berupaya
mempertemukan ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sebagai seorang filosof,
al-Kindi lebih mengandalkan kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal
untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi,
diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia
yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian, al-Kindi tidak sependapat
dengan para filosof Yunani dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam. Misalnya, tentang kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula
tidak ada. Al-kindipun berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karena itu, al-Kindi bukan
termasuk filosof yang dikritik al-Ghazali dalam kitabnya: Tahafut al-Falasifah
(Serangan terhadap para filosof).
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah pada makalah dtitujukan untuk merumuskan
permasalahan yang akan dibahas pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah, sebagai berikut :
A. Pemikiran
AL-KINDI
B. Filsafat
AL-KINDI
C. Tujuan Penulisan
A. Mengetahui siapakah Al-Kindi
B. Memahami Filsafat Al-Kindi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Filosof Muslim Pertama (Al-Kindi)
Orang yang dipandang
sebagai seorang filosof Islam pertama adalah Al-Kindi. Ia juga dikenal sebagai
filosof Arab pertama, karena ia adalah satu-satunya filosof Islam pertama yang
berasal dari keturunan Arab asli.
Nama lengkapnya adalah
Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin Al-Asy’ats
bin Qays Al-Kindi dan berkahir pada Ya’kub bin Qahthan. Tahun wafatnya terdapat
banyak fersi, Philip Khitti, mengatakan ia meninggal di Baghdad pada tahun 873
M (257 H).[22] Tentu kita tidak akan terlalu berpolemik secara panjang lebar
mengenai tahun wafat Al-Kindi, namun bukan berarti tidak penting, sebab
mengetahui riwat seorang tokoh juga sangat penting untuk mengetahui dan
menganalisis lebih jauh pemikirannya secara kontekstual. Al-Kindi dilahirkan di
Kuffah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat.
Memperhatikan tahun
kelahirannya, dapat dikatakan bahwa Al-Kindi hidup pada masa keemasan dinasti
Abbasiyah. Ayahnya Ishaq, pernah menjabat sebagai gubernur Kuffah pada masa
pemerintahan al-Mahdi dan Al-Rasyid. Selama kehidupannya ia merasakan lima
pemerintahan khalifah Abbasiyah, Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M),
Al-Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).
Mengenai siapa guru
Al-Kindi dan juga riwayat pendidikannya sejak kecil, tidak diketahui dengan
jelas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah tinggal di Basrah dan
belajar di Baghdad. Ia juga dianggap sebagai keturunan raja sehingga
mempermudahnya untuk bekerja di istana Baghdad. Ia dikenal sebagai orang yang cerdas
dan berpengetahuan luas. Karena kecerdasannya ia memperoleh kedudukan yang
terhormat oleh penguasa. Bahkan ia diangkat sebagai guru istana oleh khalifah
al-Mu’tasim dan menjadi guru pribadi bagi anaknya Ahmad bin Mu’tasim.
Al-Kindi belajar sesuai
dengan kurikulum yang ada pada masanya, ia belajar al-Qur’an, memaca, menulis,
dan berhitung. Ia sangat mahir dalam berbagai macam ilmu, seperti kedokteran,
filsafat, ilmu hitung, logika (mantiq), geometri, astronomi. Salah satu
kelebihannya ialah, ia menguasai bahasa Suryani, sehingga buku-buku Yunani yang
diterjemahkan kedalam bahasa Suryani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa
Arab olehnya. Karir intelektual Al-Kindi menanjak setelah ia diangkat untuk
bekerja sebagai guru di istana kekhalifaan sebagaimana yang dijelaskan diatas,
juga karena kesesuaian pahamnya dengan penguasa – khalifah Al-Mu’tasim – yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara.
Karena kesesuaian
pemahaman tersebut membuat Al-Mu’tasim mengajak Al-Kindi untuk bergabung dengan
para cendekiawan dalam kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani. Al-Kindi juga
menulis risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan, dan perbuatan Tuhan,
bahkan ia juga ikut membantah paham-paham yang bertentangan dengan maszhab
Negara berdasarkan pemikirannya.
Meskipun Al-Kindi mendapatkan kedudukan
yang terhormat dalam istana karena kecerdasan yang dimilikinya, ia juga tak
lepas dari pengalaman pahit yang umumnya menimpa para pemikir Islam terdahulu.
Ketika khalifah
Al-Mutawakkil berkuasa dan menggantikan mazhab Negara dari Mu’tazilah ke
Ahlusunnah wal-Jama’ah, kondisi isi dipolitisasi oleh kelompok tertentu yang
berpegang secara ketat oleh doktrin tersebut untuk memojokkan Al-Kindi. Atas
hasutan Muhammad dan Ahmad – mereka mengatakan bahwa orang yang berfilsafat
menjadi kurang hormat pada agama – Al-Mutawakkil memerintahkan untuk mendera
Al-Kindi, dan perpustakaan Al-Kindiyah disita, meskipun pada akhirya
dikembalikan lagi kepadanya.
Karena penguasaannya
terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut (sebagaimana disebutkan diatas),
sehingga sangat wajar kalau Al-Kindi ditempatkan sebagai orang Islam pertama
yang berkembangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu
pulalah, maka Al-Kindi dinilai pantas menyandang gelar filosof berkebangsaan
Arab (Failasuf al-Arab) pertama.
B.
Definisi
Filsafat al-Kindi
Definisi
filsafat menurut al-Kindi adalah sebagai berikut:
1.
Filsafat terdiri dari gabungan dua kata: philo (sahabat) dan Sophia
(kebijakan). Filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan
etimologi Yunani.
2.
Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau
oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
3.
Filsafat adalah latihan untuk mati. Yaitu bercerainya jiwa dari badan,
mematikan hawa nafsu untuk mencapai keutamaan. Definisi ini merupakan definisi
fungsional.
4.
Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini
menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal
dirinya sendiri.
5.
Filsafat adalah mengetahui tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat
menyeluruh, baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan
pada sudut pandang materinya.
Menurut al-Kindi, filsafat yang paling tinggi
tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama
yakni kausa dari semua kebenaran. Filosuf yang sejati adalah filosuf yang
memiliki pengetahuan tentang yang utama. Pengetahuan tentang kausa (penyebab)
lebih utama daripada pengetahuan tentang akibat. Orang akan mengetahui realitas
secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya (penyebabnya).
C.
Filsafat al-Kindi
1.
Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan
manusia. Pertama, pengetahuan indrawi. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dengan
jalan menggunakan akal atau rasional. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi (iluminasi).
a.
Pengetahuan indrawi.
Pengetahuan indrawi terjadi secara langsung ketika orang
mengamati terhadap objek-objek material. Pengetahuan indrawi ini tidak memberi
gambaran tentang hakikat suatu realitas. Pengetahuan indrawi selalu bersifat
juz'iy (parsial). Pengetahuan indrawi sangat dekat pada pengindraannya, tetapi
jauh dari gambaran tentang alam pada hakikatnya.
b.
Pengetahuan rasional.
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan
menggunakan akal sifatnya universal, tidak parsial. Objek pengetahuan rasional
ialah genus dan spesies, bukan individu. Orang mengamati manusia berbadan tegak
dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih, dan lain sebagainya. Semua
ini akan menghasilkan pengetahuan indrawi. Tetapi jika orang mengamati manusia
dan menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia
adalah makhluk berfikir, maka pengetahuan tersebut diperoleh dengan akal atau
rasional, dan telah mencakup semua individu manusia.
c.
Pengetahuan isyraqi.
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan indrawi saja tidak
akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat sesuatu. Pengetahuan
rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof
yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua jalan tersebut. Al-Kindi,
sebagaimana filosuf isyraqi lainnya, mengingatkan adanya jalan lain untuk
memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi). Yaitu pengetahuan yang
langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah wahyu
yang diperoleh para nabi yang berasal dari Tuhan.
Selanjutnya,
al-Kindi mengatakan bahwa selain Nabi mungkin ada sebagian orang yang mampu
memperoleh pengetahuan isyraqi meskipun derajatnya di bawah yang diperoleh para
nabi yang berasal dari wahyu Tuhan. Hal ini mungkin terjadi pada orang-orang
yang suci jiwanya.
2.
Metafisika
a.
Filsafat ketuhanan.
Pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sangat sesuai dengan
ajaran Islam. Bagi al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya. Allah akan
selalu ada dan akan ada selama-lamanya. Allah adalah wujud yang sempurna, tidak
didahului oleh yang lain. Dia tidak berakhir. Sedangkan wujud yang lain
disebabkan adanya Allah. Menurut al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini
mempunyai dua hakikat: sebagai juz'i (parsial) yang disebut 'aniah. Dan hakikat
sebagai kulli (universal) yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat
universal dalam bentuk genus dan spesies. Tujuan akhir dalam filsafat adalah
untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan. Allah dalam
filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Allah
tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula
termasuk benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk.
Allah Tidak mahiah karena Allah tidak berupa genus atau spesies. Bagi al-Kindi,
Allah adalah unik. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah
yang benar pertama, dan yang benar tunggal. Selain dariNya semuanya mengandung
arti banyak.
Untuk membuktikan adanya Allah, al-Kindi memajukan tiga
argument. Pertama, baharunya alam. Kedua, keanekaragaman dalam wujud. Ketiga,
kerapian alam.
Tentang dalil pertama, yakni baharunya alam, al-Kindi
berangkat dari pertanyaan, "apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi
wujud dirinya?". Menurut al-Kindi, tidak mungkin, karena alam ini
mempunyai permulaan waktu, dan yang mempunyai permulaan pasti berakhir. Oleh
karena itu, setiap benda ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil adanya
benda tersebut menjadi penyebab wujudnya. Hal ini berarti alam semesta sifatnya
baru, dan diciptakan oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Tentang dalil kedua, yakni keanekaragaman dalam wujud,
al-Kindi menyatakan bahwa terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan
secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai
penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya. Jika alam yang
menjadi sebab, maka akan terjadilah tasalsul (rangkaian) yang tidak akan ada
habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi pada
alam ini. Oleh karena itu, penyebabnya harus yang berada di luar alam itu
sendiri, yakni zat yang Maha dahulu. Dialah Allah Yang Maha Esa.
Tentang dalil ketiga, yakni kerapian alam, al-Kindi
menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu
saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya
tentu yang berada di luar alam. Ia tidak sama dengan alam. Zat itu tidak
terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau
fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.
b.
Filsafat alam.
Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al 'illat
al-Fa'ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat al-Kindi sejalan dengan
Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila
terhimpun empat 'illat, yakni: materi benda, bentuk benda, pembuat benda,
manfaat benda. Tentang barunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni
gerak, waktu, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak
menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda.
Mustahil jika ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan pasti berakhir.
Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi: panjang,
lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi tersebut membuktikan bahwa benda tersusun.
Dan setiap yang tersusun tidak dapat dinamakan kadim. Apabila zaman kadim
ditelusuri ke belakang tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena ia
tidak mampunyai awal. Begitu pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa
lampau tentu tidak akan sampai pada masa sekarang. Oleh karena itu, zaman yang
sampai pada masa sekarang ini bukan kadim, melainkan baru.
Dalam pandangannya tentang alam, al-Kindi menolak secara
tegas terhadap pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak
terbatas atau kadim. Pendapat al-Kindi tentang barunya alam sama dengan pendapat
kaum theologi muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang
datang sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga
bahwa Alquran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah
SWT. Akan tetapi, Alquran tidak menginformasikan secara detail tentang proses
penciptaannya.
c.
Filsafat Jiwa.
Jiwa merupakan unsur utama bagi manusia, bahkan ada yang
mengatakan sebagai intisari dari manusia. Kaum filosof muslim memakai kata
al-nafs (jiwa) terhadap apa yang diistilahkan Alquran sebagai al-ruh. Kata ini
telah masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh.
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan
secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran
Islam, menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena
itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, al-Kindi
mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak
panjang dan tidak lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
Substansinya berasal dari Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda
dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Sementara itu, jisim
(tubuh) mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen tentang perbedaan jiwa dengan badan, menurut
al-Kindi, jiwa menentang keinginan badan. Apabila nafsu marah mandorong manusia
untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan
indikasi bahwa jiwa yang melarang tentu tidak sama dengan badan sebagai yang
dilarang. Dalam hal ini, al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, yakni
materi dan bentuk. Materi ialah badan. Bentuk ialah jiwa manusia. Bentuk atau
jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan, dan begitu pula
sebaliknya. Pendapat ini mengandung arti kemusnahan badan membawa kemusnahan
jiwa. Namun pendapat al-Kindi dalam masalah ini lebih dekat pada pendapat Plato
yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident.
Binasanya badan tidak membawa binasanya jiwa. Di sisi lain al-Kindi juga
menolak pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
3.
Etika
Di muka telah disebutkan beberapa definisi filsafat yang
disajikan al-Kindi. Sebagai contoh: filsafat adalah upaya meneladani
perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh akal manusia. Yang
dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang
sempurna. Filsafat sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan definisi
ini ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafsu ialah jalan untuk
memperoleh keutamaan.
Al-Kindi
berpendapat bahwa keutamaan manusia tiada lain ialah budi pekerti yang terpuji.
Selanjutnya keutamaan-keutamaan tersebut dibagi menjadi dua bagian:
a. Keutamaan-keutamaan manusia merupakan asas dalam jiwa,
tetapi bukan asas yang negatif, melainkan asas yang positif yakni ilmu dan amal
(pengetahuan dan perbuatan). Bagian ini terbagi pula menjadi tiga, yakni hikmah
(kebijaksanaan), sajaah (keberanian), dan iffah (kesucian jiwa). Kebijaksanaan
adalah keutamaan daya pikir. Kebijaksanaan dapat berupa kebijaksanaan teoritis
dan praktis. Kebijaksanaan Teoritis ialah mengetahui sesuatu yang bersifat
universal secara hakiki. Kebijaksanaan praktis ialah menggunakan
kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan. Keberanian merupakan sifat yang
tertanam dalam jiwa. Keberaniaan memandang ringan pada kematian untuk mencapai
dan menolak sesuatu yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang
harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang
tidak diperlukan untuk itu.
Keutamaan kejiwaan dari tiga macam tersebut merupakan
benteng keutamaan yang pada umumnya menjadi batas pememisah antara keutamaan
dan kenistaan. Dengan kata lain, tiga macam keutamaan itu merupakan induk dari
keutamaan-keutamaan lainnya. Oleh karena itu, kelebihan dan kekurangan dari tiga
macam keutamaan itu terhitung sebuah kenistaan. Dengan demikian secara umum
dapat dikatakan bahwa keutamaan ialah tengah-tengah antara dua ujung yang
ekstrim, yakni melampaui batas dan kurang semestinya. Dan kenistaan adalah
salah satu dari dua ujung itu, yakni melampaui batas dan kurang semestinya.
b. Keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa,
tetapi merupakan hasil dari tiga macam keutamaan tersebut.
Dari
uraian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa keutamaan-keutamaan manusia
terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan hasil dari sifat-sifat tersebut. Jika
manusia hidup dengan memenuhi nilai-nilai keutamaan tersebut, niscaya hasilnya
menjadi sebuah kebahagiaan dalam hidupnya.
D.
Pemaduan Filsafat dan Agama al-Kindi
Al-Kindi merupakan orang Islam pertama yang mengupayakan
pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan
wahyu. Menurut al-Kindi antara keduanya, yakni filsafat dan agama tidaklah
bertentangan karena masing-masing darinya adalah ilmu tentang kebenaran,
sedangkan kebenaran hanyalah satu. Ilmu filsafat meliputi ketuhanan,
keesaanNya, serta ajaran tentang cara memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan
menjauhi dari hal-hal yang merugikan dan berbahaya. Hal tersebut selaras dengan
konsep yang dibawa oleh para nabi tentang keesaan Allah dan perbuatan-perbuatan
yang diridhaiNya. .
Tujuan
ungkapan al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam.
Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia memulainya dengan
membicarakan kebenaran. Hal itu sesuai dengan konsep agama bahwa agama
mengajarkan manusia tentang kebenaran yang hakiki. Kemudian usaha berikutnya
masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Telah dijelaskan bahwa tujuan
filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh para nabi, yakni kebijaksanaan.
Oleh karena itu, sekalipun filsafat datang dari Yunani, bagi manusia, menurut
al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, yakni wajib
mencarinya.
Pemaduan antara filsafat dan agama, menurut al-Kindi
didasarkan pada tiga alasan. Pertama, ilmu agama merupakan bagian dari
filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan pada Nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, baik secara logika atau yang lain,
diperintahkan dalam agama.
Al-Kindi
juga menghadapkan argumennya kepada kaum yang tidak senang terhadap fisafat dan
filosof. Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, maka
konsekuensinya mereka harus memberikan argumen yang jelas. Usaha pemberian
argumen tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat.
Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki
pengetahuan filsafat. Kesimpulannya, bahwa filsafat harus dimiliki dan
dipelajari karena berfilsafat merupakan kebutuhan manusia dan tidak dilarang
dalam agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan pemaduan antara
filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Sebagai seorang filosof,
al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal
untuk mencapai pengetahuan metefisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi,
diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia
yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Pemikiran filsafat al-Kindi merupakan pemikiran awal dan
sebagai pembuka jalan bagi para filosof sesudahnya.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami
susun, semoga bermanfaat. Pastilah dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami sangat mengharap kritik dan saran
yang membangun dari bapak.
DAFTAR PUSTAKA