Rangkuman jual-beli dan riba

 

RANGKUMAN MATERI

“Jual beli dan Riba”

 

JUAL BELI

 

A.      Definisi Jual Beli

Arti jual beli secara bahasa adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan carayang tertentu (akad). Jual beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil, dan lain-lain. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone, pulsa listrik, dan lain-lain.

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud jual beli adalah :

1.      Jual beli dalam Islam adalah transaksi tukar menukar yang memiliki dampak yaitu bertukarnya kepemilikan (taqabbudh) yang tidak akan bisa sah bila tidak dilakukan beserta akad yang benar baik yang dilakukan dengan cara verbal/ucapan maupun perbuatan. Pengertian ini dirujuk pada kitab Taudhihul Ahkam.

2.      Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merelakan.

3.      Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi : Pengertian jual beli yang tepat ialah, memiliki suatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki izin manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.

4.      Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar : Pengertian jual beli adalah, saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan apa yang sesuai dengan syara.

5.      Menurut Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab: Pengertian jual beli adalah, Tukar menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).

6.      Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah : Pengertian jual beli adalah, penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui jalan (cara) yang diperbolehkan;

7.      Pendapat Imam Mazhab terkait Jual Beli dalam Islam

Ulama Hanafiyah mendefinisikan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan) syara’ yang disepakati”. Adapun Ulama Malikiyah dan ulama hanafiyah mendefinisikan jual beli dalam Islam pada 2 definisi. Yaitu definisi umum dan definisi khusus.

Pada definisi umum, jual beli dalam Islam adalah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Kemudian pada definisi khusus, ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan buka pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan perak bendanya dapat direalisir dan ada di tempat. Juga bukan merupakan barang hutangan dan jelas sifat-sifat akan barang tersebut.

 

B.       Dasar Hukum Jual Beli

1.      Dasar Al-Qur’an

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. AN-Nisa : 29)

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqoroh : 275)

2.       Al-Hadits :

“Dari Rifa’ah ibn  Rafi’ RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang profesi yang paling baik?, maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat.” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’).

Berdasarkan dalil tersebut diatas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.

Dalam sirah nabawiyah juga telah banyak menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang. Bahkan pedagang yang untung. Dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW selama berdagang tidak pernah rugi ataupun balik modal. Semua yang dijual pada akhirnya akan membawa keuntungan.

Terlebih sejak umur yang masih muda yaitu sekitar 8 tahun sudah membantu pamannya, Abu Thalib untuk berdagang dan mengembala kambing. Menariknya permintaan tersebut bukan datang dari Abu Thalib tapi langsung terucap oleh lisan Nabi Muhammad SAW.

3.      Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Hukum-hukum yang bersangkutan paut dengan jual beli :

1.      Mubah (boleh), ialah asal hukum jual beli,

2.      Wajib,  seperti wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga qadhi menjua harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya) sebagaimana akan datang keterangannya tentang muflis,

3.      Haram, sebagaimana yang telah lalu apa-apa jual beli yang terlarang,

4.      Sunat, seperti jual beli kepada sahabat atau pamili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang itu.

 

C.      Rukun Jual Beli

Jual beli akan menjadi sah dan valid apabila ditunaikan rukun-rukunnya. Apabila ada satu rukun yang tidak ditunaikan maka jual beli dianggap tidak sah. Terkait dengan rukun-rukun tersebut paling tidak ada dua pendapat ulama.

Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual beli cukup satu saja yaitu ijab Kabul (shighat). Adapun Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli paling tidak terdiri dari 4 hal, diantaranya:

1.      Aqidain (2 orang yang berakad baik pembeli maupun penjual),

2.      Objek/barang yang diJual-Belikan,

3.      Ijab Kabul (shighat),

4.      Nilai tukar pengganti barang.

 

D.      Syarat Jual Beli

Syarat jual beli dalam Islam mengikut pada rukun yang disertakan dalam jual beli. Rukun-rukun yang disebut sebelumnya akan sempurna bila diiringi dengan syarat-syarat berikut:

1.      Terkait dengan aqidain (2 orang yang berakad) maka yang perlu diperhatikan diantaranya berakal dan dua orang yang berbeda. Jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak waras maka jual beli itu tidak sah.

2.      Untuk objek jual beli terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan diantaranya:

  1. Keberadaan barang tersebut harus tampak,
  2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat,
  3. Dimiliki sendiri oleh penjual, tidak diperkenankan menjual barang yang bukan dimiliki oleh penjual,
  4. Diserahkan langsung ketika akad.

3.      Dari segi shighat yang perlu diperhatikan adalah adanya kerelaan kedua belah pihak. Hal ini karena terdapat kaidah muamalah yaitu an taradin minkum (suka sama suka/saling memiliki kerelaan).

4.      Terakhir, terkait dengan nilai uang/nilai tukar barang yang dijual maka ada lima hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

  1. Suci (Tidak boleh barang najis),
  2. Dapat diserahterimakan/dipindahkan,
  3. Ada manfaatnya,
  4. Dimiliki sendiri atau yang mewakilinya,
  5. Diketahui oleh penjual dan pembeli.

 

E.       Larangan yang Merusak Jual Beli

1.      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu dilarang.

2.      Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar. Khiyar artinya "boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli)". Diadakan oleh syara' agar kedua orang yang berjual beli dapat memiliki kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.

3.      Mencegat orang-orang yang datang dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.

4.      Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketenteraman umum.

5.      Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.

6.      Jual beli yang disertai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang dagangan ataupun ukuran dan timbangannya.

7.       

RIBA

 

A.      Definisi Riba

Riba adalah suatu kegiatan pengambilan nilai tambah yang memberatkan dari akad perekonomian, seperti jual beli atau utang piutang, dari penjual terhadap pembeli atau dari pemilik dana kepada peminjam dana, baik diketahui bahkan tidak diketahui oleh pihak kedua.

Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :

1.      Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.

2.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.

3.      Berlebihan atau menggelembung.

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali yang artinya adalah “akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.

Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaik Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).

 

B.       Dasar Hukum Riba

Dalam surat Al Baqarah ayat 276:

يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

 “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.(Q.S Al Baqarah : 276)

Begitu pula dengan surat Al Baqarah ayat 278:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S Al Baqarah : 278)

Dalam surat Al Baqarah ayat 276 dan 278, Allah SWT menyatakan memusnahkan riba dan memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Yang menjadi tinjauan dalam ayat ini ialah periba itu hanya mencari keuntungan dengan jalan riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan dengan jalan tidak mau membayar sedekah.

Karena itu, Allah SWT menyatakan riba itu menyebabkan kurangnya harta dan tidak berkembangnya harta. Sedang sedekah sebaliknya, yakni dapat menyebabkan bertambah dan berkembangnya harta.

Ayat Al-Qur’an tentang Riba lainnya yaitu pada surat Ali Imran ayat 130:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Dalam ayat ini terlihat jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat belum secara menyeluruh. Sebab pengharaman riba dalam ayat tersebut baru pada riba yang berlipat ganda dan sangat memberatkan bagi si peminjam.

 

C.      Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1.      Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Contoh: Putra memberikan pinjaman dana tunai pada Faozan sebasar Rp 1.000.000 dan wajib mengembalikan pokok pinjaman dengan bunga sebesar Rp 1.500.000 pada saat jatuh tempo dan kelebihan dana pengembalian ini tidak dijelaskan tujuannya untuk apa.

2.      Riba Jahiliyyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Contoh: Fulan meminjam Rp 700.000 pada Fulana dengan tempo dua bulan. Pada waktu yang ditentukan, Fulan belum bisa membayar dan meminta keringanan. Fulan menyetujuinya, tapi dengan syarat Fulan harus membayar Rp 770.000.

3.      Riba Fadhl

Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Contoh: 3 kg gandum dengan kualitas baik ditukar dengan 4 kg gandum berkualitas buruk atau yang sudah berkutu.

4.      Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contoh: Fahri meminjam dana kepada Juki sebesar Rp 300.000 dengan jangka waktu atau tenor selama 1 bulan, apabila pengembalian dilakukan lebih dari satu bulan, maka cicilan pembayaran ditambah sebesar Rp 3.000.

 

D.      Perbedaan antara Jual-beli dan Riba

1.      Jual-beli adalah dihalalkan oleh Allah ta’alaa, sedangkan riba jelas telah diharamkan-Nya, dan wajib atas setiap hamba untuk menerimanaya secara mutlak.

2.      Transaksi jual-beli pasti akan menghadapi hal-hal: untung-rugi; perlu kesungguhan dan kepiawaian/keahlian, sedangkan jual-beli dengan cara riba hanya akan mendapatkan keuntungan dan tidak akan pernah menemui kerugian, bagaimanapun keadaannya, tidak perlu keseriusan dan kesungguhan, tidak perlu kepandaian tertentu.

3.      Jual-beli pasti di dalamnya ada pertukaran barang dan keuntungan diperoleh oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), namun riba hanya memberi keuntungan kepada satu pihak saja yaitu penjual.

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url