METODE BERPIKIR ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH
Aqidah
Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok yang berkembang
pada saat itu. Yaitu, kelompok Jabbariyah dan Qadariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Kelompok Jabbariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh Allah.
Manusia tidak memiliki andil sedikitpun dalam perbuatannya. Sebaliknya,
golongan Qadariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia mutlak diciptakan oleh
manusia itu sendiri sedangkan Allah tidak turut campur sama sekali terhadap
perbuatan manusia tersebut.
Asy’ariyah menengahi keduanya. Menurut Asy’ariyah, perbuatan manusia adalah
diciptakan oleh Allah, tetapi manusia memiliki bagian yang disebut kasb dalam
perbuatannya. Dalam konsep keadilan Tuhan pun Asy’ariyah berbeda dengan Mu’tazilah.
Menurut Mu’tazilah, Tuhan wajib memasukkan manusia yang baik ke dalam surga dan
memasukkan orang jahat ke dalam neraka. Sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa
memasukkan manusia ke dalam surga atau neraka adalah hak Allah bukan kewajiban
Allah.
Mu’tazilah menempatkan rasio di atas wahyu sedangkan Asy’ariyah menempatkan
wahyu di atas rasio. Meskipun demikian, kerja-kerja rasio dihormati.
Prinsip-prinsip Maturidiyah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
Asy’ariyah. Hanya saja, Maturidiyah fiqihnya menggunakan madzhab Hanafi saja
sedangkan Asy’ariyah menggunakan fikih madzhab Syafii dan Maliki. Asy’ariyah
hanya menghadapi ideologi Mu’tazilah saja tetapi Maturidiyah menghadapi
berbagai ideologi, ada Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah, dan Jahamiyah. Selain
itu Maturidiyah harus menghadapi kelompok agama lain seperti Majusi, Nasrani,
dan Yahudi.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya pendamaian
antara naqli dan aqli (nash dan akal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu
kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak ada nash (naql), sama
juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (akal).
Menggunakan akal sama pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab, akal yang
dimiliki oleh manusia juga pemberian dari Allah. Karena itu, Al-Qur’an
memerintahkan umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami cara yang
dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasai masyarakat
setempat.
Baik Asyariyah maupun Maturidiyah menolak cara penyebaran ajaran dengan kekerasaan dan pemaksaan sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-nahl ayat 125 yang Artinya:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl: 125)
Sesuai ayat di atas, amar ma’ruf nahi munkar itu harus dilaksanakan dengan
kebijaksanaan dan bukan dengan kekerasan. Bahkan, dalam berdebat pun kita harus
dengan cara yang lebih baik daripada lawan bicara.
