Kebahagiaan, arti dan problemnya
Arti Kebahagiaan
Ada beberapa istilah sejenis, yaitu kelezatan (pleasure), kegembiraan/gembira (joy), kebahgiaan (happiness), dengan ketiga istilah ini dapat mengaburkan pengertian. Menurut MC Dougal bahwa gejala-gejala kejiwaan di atas merupakan keadaan kejiwaan yang bersifat umum.
Kelezatan itu waktunya singkat sekali, dan banyak berkaitan dengan segi-segi jamaniah, misalnya kelezatan yang timbul dari makanan, minuman dan pakaian. Adapun kegembiraan waktunya agak lebih panjang. Pada umunya lebih bersifat kejiwaan, karena ada kaitannya dengan perasaan, misalnya bergembira karena bertemu dengan teman lama atau sembuh dari sakit yang berat, dan lain sebagainya.
Sedangkan kebahagiaan waktunya lebih panjang dari keduanya bahkan dapat juga berlangsung seumur hidup. MC Dougal mengatakan biasanya orang-orang yang merasakan kebahgiaan sanggup menyelesaikan suatu kewajiban yang dipercayakannya.
Rasa harga diri timbul bahwa menunaikan kewajiban adalah melaksanakan orang tentang dirinya, kemudian ia merasa bahagia sebagai hasil nyata dunia, self realitasisme, dapat kita lihat bahwa kebahagiaan juga berkaitan dengan integritas pribadi seseorang. Keadaan ini timbul dari adanya keselarasan dan keserasian yang sempurna antara dorongan-dorongan dan sentimen-sentimen pribadi seseorang.
Dengan adanya kesatuan dan keserasian inilah yang menyebabkan atau menjamin pengarahan potensi manusia yang timbul dari pembawan naluri untuk mencapai tujuan yang diinginkan, apabila tujuan itu tercapai maka sesorang akan merasa puas, kepuasan yang sadar dan dirasakan seseorang karena keinginannya disadari memiliki sesuatu yang baik, itulah yang dinamakan kebahagiaan.
Ragam Penafsiran Tentang Kebahagiaan
Perbedaan pendapat yang menjadi obyek yang dapat memberikan kebahagiaan timbullah beberapa aliran:
1) Hedonisme
Menurut aliran ini, bahwa kebaikan tertinggi yang menjadi tujuan segala manusia adalah kebahagiaan dalam bentuknya yang kasar, hedonisme menganggap kebahagiaan jasmaniah yang berupa kelezatan (pleasure).
Aliran ini lebih menekankan kelezatan jasmaniah/panca indra karena dipandang dalam intensif dari pada kesenangan intelektual. Walaupun lebih tinggi nilainya, menganggap bahwa dalam hidup ini diperlukan ketangkasan hidup untuk memungkinkan, memilih saat-saat kepuasan/kelezatan yang lestari (long continuepleasure).
2) Epilurisme
Aliran ini pada dasarnya merupakan hedonisme dalam bentuk yang lebih luas. Tujuan hidup bukan kelezatan tetapi kedamaian. Maka aliran ini berusaha mencapai kebahagiaan dengan memperoleh ketentraman jiwa/batin sebanyak-banyaknya, menjauhi penderitaan sekecil-kecilnya.
Kesenangan intelektual lebih baik sebab lebih tahan lama dibandingkan kesenangan jasmaniah, agar sesorang tetap dalam keadaan bahagia, ia harus membatasi diri dari keinginan-keinginan sebagai cita-cita yang luhur suatu upaya menghilangkan keinginan-keinginan yang tidak dapat dicapai.
3) Utilitarianisme
Ia lahir dari hedonisme, aliran ini mementingkan nilai guna/manfaat, ia tidak tamak/egoistis, juga memandang kepentingan kelompok untuk melaksanakan kepuasan bersama. Tujuan hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah terbesar. Ukurannya bersifat kuantitatif, tokohnya adalah Jeremy Benthan (1748-1832).
4) Stoisisme
Aliran ini tumbuh dari seorang murid Socrates Antithines yang mendirikan aliran Cymika. Pendapatnya bahwa kebahagiaan adalah sifat yang dicapai dengan jalan melepaskan diri dari tiap-tiap keinginan, kebutuhan, kebiasaan/ikatan yang mengurangi kebebasan seseorang. Menurut aliran ini, kebahagiaan tidak terdapat pada kepuasan, melainkan terletak pada kelepasan seseorang merasa cukup pada dirinya sendiri. Hal inilah yang dipandang sebagai kebaikan dan kewajiban.
Pengikutnya memandang hina pada kekayaan, kesenangan, keluarga, dsb, bahkan memandang hina pada tata krama/sopan santun karena mengurangi kebebasan manusia. Terikat pada pribadi sendiri adalah sifat-sifat yang sangat dihargai oleh Stoisisme.
5) Evolusiraisme
Ini adalah ajaran kemajuan dan pertumbuhan, kemajuan dipandang sebagai tujuan hidup, tidak peduli kemana kaki menuju, jadi prosesnya sendiri itulah yang penting walaupun tujuan akhirnya tidak diketahui dan dikenal. Tokohnya adalah Herbert Spencer yang menghubungkan evolusionisme dengan etika, menurutnya bahwa perbuatan itu disebut baik/buruk tergantung pada tujuannya.
Obyek Kebahagiaan dan Kebahagiaan Tertinggi
Setiap manusia ingin kebahagiaan, kebahagiaan tertinggi/kebahagiaan sempurna, karena sifatnya yang kadang terbit dari hakekat manusia itu sendiri. Keinginan tersebut berasal dari Tuhan. Permasalahannya: apakah yang sebenarnya yang menjadi obyek kebahagiaan itu sendiri?
Berdasarkan kenyataan obyektif kemampuan penalaran manusia sendiri ada 3 kemungkinan yang menjadi obyek kebahagiaan tertinggi.
1) Sesuatu di bawah manusia, seperti harta, keluarga, kekuasaan, kedudukan, dsb. Semua ini ternyata masih memerlukan penjabaran/menyusahkan dan harus ditinggalkan, jadi merupakan kebahagiaan yang tidak sempurna yang akhirnya ditinggalkan.
2) Manusia sendiri, hal ini tidak mungkin dapat menjadi obyek kebahagiaan sempurna, karena baik rohani maupun jasmani tidak mungkin merasa puas pada dirinya sendiri. Tidak sempurnanya karena sesuai dengan obyek manusia itu sendiri.
3) Sesuatu di atas manusia, obyek kebahagiaan tertinggi harus dicari di luar dan di atas manusia. Dan sesuatu yang merupakantujuan akhir dari seuruh kehidupan manusia, yaitu: Tuhan. Tuhan menurut akal kita pasti dapat memenuhi segal tuntutan kita.
Para filosof (non ateis) membagi kebahagiaan menjadi 2 macam yaitu: jasmaniah dan rohaniah. Hal ini juga dipegang para filosofis yang membahas ilmu akhlak seperti Ibnu Maskawaih dan Al Ghozali.
Ibnu Maskawaih banyak dipengaruhi Aristoteles yang mengatakan kebahagiaan itu mempunyai 2 tahap sesuai dengan tabiat manusia, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Kebahagiaan rohani sebagai kebahagiaan tingkat tertinggi, sedangkan kebahagiaan jasmani mempunyai martabat rendah yang bersifat sementara, dapat sakit, menyesal karena tertipu oleh panca indra. Sedangakan puncak kebahagiaan rohani terletak pada kebahagiaannya dengan Tuhan karena prang dapat mengendalikan hawa nafsunya, dsb.
Hujatul Islam Al Ghozali membagi kebahagiaan menjadi 2 macam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia meliputi 4 macam dan masing-masing memiliki bagian:
1. Keutamaan akal budi
a. Ilmu (al-ilmu) atau al-hikmah
b. Suci diri (al-iffah)
c. Berani (as-saja’ah)
d. Adil (al-adl)
2. Keutamaan tubuh
a. Sehat (al-asihah)
b. Kuat (al-kuwah)
c. Elok/bagus (al-jamal)
d. Panjang umur (thowil umur)
3. Keutamaan luar badan
a. Harta benda (al-malu)
b. Keluarga (al-ahlu)
c. Terhormat (al-idju)
d. Mulia turunan (karomah arrumah)
4. Keutamaan bimbingan
a. Petunjuk Allah (al-hidayah)
b. Pimpinan Allah (an-nash)
c. Sokongan Allah/dorongan (tasdid)
d. Bantuan Allah (tasyid)
Kebahagiaan akhirat sifatnya kekal sebagai kebahagiaan tertinggi. Kebahagiaan ini semua banyak diberikan atau dicapai oleh nabi dan wali. Orang harus menguasai jiwnya dengan keutamaan (al fadhilah). Menurut akhlak Islam banyak dimuat dalaam Al Quran dan As Sunnah bahwa kebahagiaan tertinggi adalah bersifat universal dan mempunyai predikat mardhotillah. Islam menghendaki kebahagiaan jasmani dan rohani dunia akherat.
Problem kebahagiaan
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi character dan mindset manusia, salah satunya adalah pandangan dunia atau prinsip yang mereka miliki, sehingga prinsip tersebut ikut mempengaruhi kehidupan mereka di dunia. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak kebebasan (free will), seluruh tindakan sadarnya (voluntary action) adalah efek dari ilmu dan kehendaknya. Sehingga perbuatan baik ataupun jelek bersumber dari ilmu dan kehendak tadi.
Dengan cara ini kita menganalisa fenomena perbuatan manusia. Sejumlah manusia telah beranggapan bahwa kebahagiaaan hanya terletak pada hal-hal yang bersifat materi. Pandangan ini mendorong mereka untuk mencapai kebahagiaan tersebut dengan cara apapun. Hal ini melahirkan perbuatan seperti konsumerisme, terorisme, korupsi, penyalahgunaan obat-obatan, padahal, perbuatan-perbuatan tersebut tidak sesuai dengan rasionalitas pada manusia yang merupakan differentia yang membedakan manusia dari spesies lainnya.
Atas dasar ini, perlu bagi kita untuk merumuskan kembali, apa kebahagiaan yang sesuai dengan rasionalitas manusia. Hal ini dikarenakan cara pandang atau world view menyangkut hakikat manusia dan tujuan penciptaannya pada diri seseorang sangat menentukan tindak-tindakan yang diambilnya.
Para filosof peripatetik dalam berbagi karyanya telah mendiskripsikan dan menegakan argumentasi menyangkut kebahagiaan yang esensial bagi spesies manusia. Kebahagiaan tercapai, jika seseorang berhasil merealisasikan tujuan penciptaannya. Tujuan penciptaan suatu spesies dapat dilihat dari diffrentia spesies tersebut. Sehingga, kebahagiaan esensial manusia adalah terealisasinya natiqiyahnya, dalam hal ini akal nazori dan amali. Dan Ibn Sina bisa membuktikan dengan metode burhannya, bahwa kebahgiaan non-materi adalah lebih muliah, sempurna,tinggi, kuat, bertahan lama dari kebahagiaan materi.
