makalah Landasan Filosofis dan Historis dalam Bimbingan Konseling


Untuk mendapatkan filenya klik link di bawah ini 

Landasan Filosofis dan Historis dalam Bimbingan Konseling 

 BAB I PENDAHULUAN 

     A. Latar Belakang Landasan Filosofis dan Historis dalam Bimbingan Konseling

     Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fondasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fondasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). 

Landasan bimbingan dan konseling meliputi beberapa landasan antara lain yaitu landasan filosofis, landasan historis, landasan religius, landasan psikologis, landasan sosial budaya, landasan ilmiah dan teknologis, dan pedagogis. Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang landasan filosofis dan historis dalam bimbingan konseling. 

 B. Rumusan Masalah Landasan Filosofis dan Historis dalam Bimbingan Konseling

1. Apa pengertian landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling? 
2. Apa fungsi landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling? 
3. Apa prinsip landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling? 
4. Apa itu hakikat manusia? 
5. Apa tugas dan tujuan kehidupan manusia serta implikasi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling? 
6. Bagaimana landasan historis dalam bimbingan dan konseling? 

C. Tujuan Penulisan Landasan Filosofis dan Historis dalam Bimbingan Konseling

     Untuk mengetahui pengertian landasan filosofis, fungsi landasan filosofis, prinsip landasan filosofis, hakikat manusia, tugas dan tujuan kehidupan manusia serta implikasi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling serta mengetahui bagaimana landasan historis dalam bimbingan dan konseling. 

BAB II 
PEMBAHASAN 

    A. Pengertian Landasan Filosofis 

 “Landasan” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (pusat bahasa diknas.go.id) diartikan sebagai alas, dasar, atau tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal. 
 “Filosofis” , berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas suku kata philein/philos yang artinya cinta dan sophos/Sophia yang artinya kebijaksanaan, hikmah, ilmu, kebenaran, jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan Secara maknawi filsafat dimaknai sebagai suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. 
 Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. 
    

B. Fungsi Landasan Filosofis Fungsi filsafat dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa 

(1) setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, 
(2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri, 
(3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah faham dan konflik, dan 
(4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah. 
Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, keputusan yang diambil akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, bahkan sebaliknya dapat mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam iklim kehidupan yang serba kompleks.(Yusuf, 2010). 

Makna dan fungsi filsafat dalam kaitanya dengan layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman Amti (dalam Yusuf, 2010) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa, “Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tidakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling. 

Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya. 

 C. Prinsip Landasan Filosofis 

John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) dalam (Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut: Objective Viewing. Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatifi atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya secara konstruktif. The Counselor must have the best interest of the client at heart. 

Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilan untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills). 

James Cribbin mengemukakan prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan adalah sebagai berikut: 

 a. Bimbingan hendaknya didasarkan pada pengakuan akan keilmuan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan. 
b. Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan. 
c. Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan. 
d. Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri. 
e. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya. 
f. Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan sosialisasi

D. Hakikat Manusia 

Beberapa pendapat para ahli atau mazhab konseling tentang hakikat manusia diantaranya dapat dipaparkan sebagai berikut: Viktor E.Frankl (Prayitno dan Erman Amti, dalam Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa hakikat manusia itu sebagai berikut: 

1) Manusia, selain memiliki dimensi fisik dan psikologis, juga memiliki dimensi spiritual. Ketiga dimensi itu harus dikaji secara mendalam apabila manusia itu hendak dipahami dengan sebaik-baiknya. Melalui dimensi spiritualnya itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya. 
2) Manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia mengarahkan kehidupannya sendiri. 
3) Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. 

Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu sendiri. Sigmund Freud,(dalam yusuf, 2010) mengemukakan sebagai berikut: 

1) Manusia pada dasarnya bersifat pesimistis, deserministik, mekanistik, dan reduksionistik. 
2) Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil. 
3) Dinammika kepribadian berlangsung melalui pembagian enerji psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi. 
4) Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif, naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos). 
5) Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principle) 

E. Tugas dan Tujuan Kehidupan Manusia Serta implikasi terhadap Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. 

 Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia,sejahtera, nyaman dan menyenangkan. Prayitno dan Erman (dalam yusuf, 2010) mengemukakan model witney sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka ciri-ciri hidup sehat ditandai dengan 5 kategori tugas kehidupan, yaitu: 

a. Spiritualitas; Agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Dimensi dari aspek spiritual adalah; kemampuan manusia memberikan arti kepada kehidupannya, optimisme terhadap kejadian-kejadian yang akan datang dan diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang serta dalam pembuatan keputusan. 

b. Pengaturan diri; Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat sejumlah ciri, termasuk rasa diri berguna, pengendalian diri, pandangan realistik, spontanitas dan kepekaan emosional, kemampuan rekayasa intelektual, pemecahan masalah, dan kreativitas, kemampuan berhumor, kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat, maka orang mampu mengkoordinasikan hidupnya dengan pola tingkah laku yang bertujuan, melalui pengarahan, pengendalian dan pengelolan diri sendiri. 

c. Bekerja; Dengan bekerja orang akan memperoleh keuntungan ekonomis, psikologis ( percaya diri, merasa berguna ), dan sosial ( tempat bertemu orang lain, persahabatan, dan status ) kesemuanya akan menunjang kehidupan yang sehat bagi diri sendiri dan orang lain. 

d. Persahabatan ; Persahabatan memberikan 3 kautamaan kepada hidup yang sehat, yaitu : 
    • Dukungan emosional, kedekatan , perlindungan, rasa aman, kegembiraan. 
    • Dukungan keberadaan, penyediaan kebutuhan fisik, bantuan keuangan. 
    • Dukungan informasi, pemberian data yang diperlukan, petunjuk peringatan, nasehat. 

e. Cinta; Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi sangat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling bekerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat. 

    Paparan tentang hakikat, tujuan, dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikir para ahli, mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling, dalam hal ini terutama terkait dengan perumusan tujuan bimbingan dan konseling, dan cara pandang konselor terhadap konseli yang sebaiknya didasarkan pada harkat dan martabat manusia. 

 Sedangkan menurut Sukmadinata, 2007 Aliran filsafat juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia, tujuan hidup manusia dan implikasinya terhadap bimbingan konseling yaitu sebagai berikut: 

a. Idealisme Idealisme merupakan faham filsafat yang mengakui adanya dunia ide di samping dunia riil dimana sekarang kita berada. Dunia ide ini merupakan dunia rohani, spiritual yang bersifat abadi, sedang dunia riil merupakan dunia materi yang dapat diamati dengan indra, dunia ini bersifat fana. Kehidupan di dunia riil bersifat sementara, serta terbatas. 

Sedang dunia ide bersifat kekal, tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Para idealis mengakui adanya nilai-nilai abadi yang bersifat mutlak, baik nilai nilai moral (etika) maupun nilai nilai kultural (estetika). 

Tujuan kehidupan manusia adalah mencari kebenaran dan kebahagiaan spiritual yang abadi yakni dunia ide. Bimbingan konseling diarahkan pada pengembangan anak dan remaja agar menguasai nilai-nilai, hidup sejalan dengan nilai-nilai moral dan estetika. Bimbingan dan Konseling berfungsi membantu anak-anak dan remaja dalam memahami kebahagiaan abadi, membantu menyiapkan diri dalam mencapai kehidupan abadi. 

b. Realisme Realisme merupakan faham filsafat yang lebih menekankan dunia nyata, kenyataan tunduk pada hukum alam yang bersifat universal. Manusia berusaha menemukan hukum universal melalui penelitian empiris dan fakta yang telah dibuktikan dalam penelitian menjadi acuan dalam kehidupan manusia. 

 Nilai merupakan standar yang telah dirumuskan secara ilmiah, etika merupakan tuntutan moral yang didasarkan pada pemikiran ilmiah. Keindahan atau estetika ada pada alam dan hubungan yang bersifat ilmiah. Manusia harus mengerti hukum universal tersebut, tujuan kehidupan manusia adalah mengembangkn dan menyempurnakan pemahamannya tentang alam melalui kajian dan penelitian ilmiah. Bimbingan dan konseling diarahkan pada pengembangan pengetahuan dan kemampuan siswa pada alam, tuntutan, prinsip dan hukum alam. 

c. Pragmatisme Pragmatisme memandang kenyataan atau kehidupan selalu berubah. Dalam kehidupan manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi ini yang membut manusia berubah atau lingkungannya yang berubah. Pragmatisme tidak mengakui kebenaran yang universal atau kebenaran mutlak. Kebenaran hanyalah generalisasi atau prinsip tentatif yang menjadi pegangan dalam berinteraksi dengan lingkungan yang akan diuji dalam penelitian selanjutnya. 

Konsep pragmatisme tentang nilai sangat situasional 

d. Eksistensialisme Konsep eksistensialisme lebih menekankan pada aspek pribadi dan sosial. Pendidikan dan bimbingan diarahkan pada menimbulkan perubahan-perubahn pribadi dan sosial. 

Bimbingan dan konseling diarahkan pada pengembangan kepribadian anak agar memiliki secara pribadi maupun sosial. Pemberian layanan bimbingan ditujukan agar siswa memiliki pemahaman terhadap segala potensi dan kekuatan dirinya, segala tuntutan dan masalah yang dihadapinya. Tugas para pembimbing adalah pengembangan semua potensi dan kekuatan anak , agar mereka menjadi manusia yang sehat dan produktif. 

 Bagi bangsa indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat. Maka pembuatan program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila pancasila tersebut. 

Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut: 

1) Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi peserta didik agar mampu ; 

    (1) mengembangkan potensi, fitrah dan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa dengan cara mengimani, memahami dan mengamalkan ajaranNya. 
    (2) mengembangkan sikap-sikap yang positif seperti respek terhadap harkat dan martabat sendiri dan orang lain, dan bersikap empati. 
    (3) mengembangkan sikap-sikap kooperatif, kolaboratif, toleransi dan altruis (ta’awun bil ma’ruf) 
    (4) mengembagkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat. 
    (5). Mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan, dan pekerjaan). 

2) Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa, bersikap respek terhadap orang lain, mau bekerja sama dengan orang lain. Bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa. 

3) Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung twrwujudnya nilai-nilai pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya itu diantaranya: 

    (1) menata kehidupan lingkungan yang hijau berbunga, bersih dari polusi 
    (2) mencegah dan memberantas kriminalitas 
  (3) menghentikan tayangan televisi yang merusak nilai pancasila, seperti tayangan yang merusak akidah, moral masyarakat 
    (4) mengontrol secara ketat penjualan alat kontrasepsi 
    (5) memberantas korupsi dan melakukan clean government. 

 F. Landasan Historis Bimbingan dan Konseling 

    Menengok sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal di Amerika Serikat yang dipelopori oleh seorang tokoh besar yaitu Frank Parson melalui gerakan yang terkenal yaitu guidance movement (gerakan bimbingan). Awal kelahiran gerakan ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran perang yang tidak memiliki peran. Oleh karena itu, Frank Person berupaya memberi bimbingan vocational sehingga veteran-veteran tersebut tetap dapat berkarya sesuai kondisi mereka. 

    Selanjutnya, gerakan ini berkembang tidak semata pada bimbingan vocational, tapi meluas pada bidang-bidang lain yang akhirnya masuk pula dalam pendidikan formal. Dalam pendidikan formal, bimbingan (dan konseling) ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu siswa (peserta didik) mencapai titik optimal perkembangan mereka. 

    Pencapaian-pencapaian itu dilakukan oleh petugas yang (di Indonesia) dikenal dengan sebutan guru pembimbing atau guru BK (bimbingan dan konseling), di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan konselor sekolah. Dalam mencapai tujuan tersebut guru pembimbing melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya yang sekaligus menjadi ujung tombak dari keseluruhan kegiatan bimbingan adalah kegiatan konseling. 

    Kegiatan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dalam arti untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan kemampuan (keterampilan) khusus tentang praktik konseling, karena kegiatan konseling bukan kegiatan menasihati, memarahi, atau sekadar obrolan ”omong kosong”. 

    Pelatihan-pelatihan konseling yang diberikan pada (bimbingan konseling) sedikit banyak memecah kekacauan pandangan dan tindakan tentang tugas-tugas pembimbing bahkan keberadaan bimbingan konseling itu sendiri. 

    Karakteristik seperti itu menjadikan guru pembimbing atau guru bimbingan dan konseling memiliki tipe kerja tersebut, yang seandainya disamakan dengan guru-guru bidang studi lain akan jauh berbeda. Sebenarnya antara guru pembimbing dengan guru-guru bidang studi memiliki kesamaan yaitu dalam visi dan misi pendidikan. Sementara strategi yang ditempuh yang menjadikan mereka tampak berbeda. Guru bidang studi banyak berinteraksi dengan peserta didik di ruang kelas, melaksanakan semua instrumen kegiatan belajar mengajar. Sementara guru pembimbing lebih banyak berkecimpung dalam proses konseling yang semuanya itu dilakukan tidak secara klasikal dengan memakai ruang kelas. 

    Guru pembimbing lebih akan memakai pendekatan yang bersifat individual dan”santai”. Keberadaan ini yang menuntut kejelian serta ”kecerdasan” kita dalam memaknai bimbingan konseling. Akan sangat berat bila pikiran kita dipaksa untuk menyamakan bimbingan konseling dari kaca mata tugas-tugas guru bidang studi biasa. Tampaknya, bila ditarik dari sisi pesimis, munculnya sikap diskriminatif berpangkal dari tafsir bahwa bimbingan dan konseling hanya sisipan atau pelengkap ”penderita” dari keseluruhan pendidikan formal, kalau memang tidak karena sikap kita dari semula telah diskriminatif ataupun korup (?). 

    Tak berlebihan bila akhirnya kondisi ini yang memicu lahirnya tindakan-tindakan diskriminatif pada petugas-petugas bimbingan konseling di lapangan. Di Amerika Serikat sendiri tanpa bermaksud membandingkan apalagi menjiplak bimbingan konseling terus berkembang dan telah berperan sebagaimana keberadaannya. 

    Kondisi Indonesia tentu lain, sekali lagi, surat pembaca di atas menjadi contoh bagaimana keterbatasan pengetahuan pada apa yang disebut dengan bimbingan konseling telah melahirkan tindakan-tindakan yang perlu terus dikoreksi. 

    Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia dan Lahirnya BK Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. 

    Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. 

    Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

    Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka. Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. 

    Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang didalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. 

    Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas. Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. 

    Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja. 

    Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut : 

1. Belum Adanya Hukum Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya. 
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan BP di sekolah Lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” 
Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. 
3. Belum ada aturan main yang jelas Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. 

Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. 

Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan: 

1) Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya. 
2) Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir. 
3) Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok. 
4) Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya, 
5) Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.

Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia. SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah : 

1. Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi “bimbingan dan konseling.” 
2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru. 
3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam. 
4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas : 
    a. Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya. 
    b. Bidang bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir Jenis layanan : layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok. 
    c. Kegiatan pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus. 
    d. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut “BK Pola-17” 
5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap : 
    a. Perencanaan kegiatan 
    b. Pelaksanaan kegiatan 
    c. Penilaian hasil kegiatan 
    d. Analisis hasil penilaian 
    e. Tindak lanjut 
6. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah. Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti : 
    1) Pengangkatan guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling. 
    2) Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan. 
    3) Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti : 
        a. Buku teks bimbingan dan konseling 
        b. Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolah 
        c. Panduan penyusunan program bimbingan dan konseling 
        d. Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling 
        e. Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah 

4) Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling 
5) Penyusunan pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. 
Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan. 

BAB III PENUTUP 

A. Kesimpulan 

Dari pembahasan yang diuraikan dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan filosofis memberikan pemikiran-pemikiran tentang hakikat dan tujuan hidup manusia untuk menemukan hakikat manusia secara utuh mengingat bimbingan konseling akan selalu berkaitan dengan manusia sebagai objeknya. 

Pemikiran tentang hakikat manusia, Tujuan dan Tugas kehidupan manusia diharapkan akan berimplikasi positif terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling, yakni konselor akan memiliki pedoman yang akurat dalam melaksanakan layanan bimbingan, konseling dilaksanakan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan manusia. 

B. Saran 

Penulis merekomendasikan kepada pembaca supaya tidak menggunakan makalah ini sebagai acuan yang mutlak, karena makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu penulis merekomendasikan kepada seluruh pembaca untuk mencari dan mempelajari lebih dalam lagi pada sumber – sumber lain untuk menyempurnakannya. 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url