Humanisasi dan Dehumanisasi Pendidikan
PENDAHULUAN
Banyak kritik disampaikan para cendekiawan
dan praktisi kepada pemerintah terkait pendidikan di negara tercinta ini.
Tujuan utama dalam hal ini adalah ingin meningkatkan kesadaran kita akan arah
dan nyawa pendidikan yang kita laksanakan selama ini
belum sesuai dengan hakekat tujuan pendidikan yang sebenarnya yaitu harus
mengedepankan upaya memposisikan manusia sebagai manusia.
Apa yang dimaksud dengan Pendidikan ?
Pendidikan dimaknai sebagai upaya sadar untuk mengembangkan manusia sesuai dengan kecerdasannya, atau sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Hal itu sesuai dengan empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning live together. Dengan demikian, maka pendidikan bisa menjadikan manusia untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta dapat hidup bersama dengan sesamanya. Manusia tidak akan dapat menjadi manusia sepenuhnya, jika tidak melalui proses pendidikan oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam suasana kemanusiaan. Pendidikan harus difikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan akhirnya terhadap alam raya ini (Brubacher).
Mendidik
adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak dalam
pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan
bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.(M.J.
Langeveld). Oleh karena itu proses pendidikan tidak boleh tidak harus
berlangsung secara manusiawi dengan proses yang memanusiakan (humanisasi), dan
bukan sebaliknya, yakni
dehumanisasi.
Banyak praktik pendidikan yang selama ini kita laksanakan secara sengaja atau tidak, langsung atau tidak, justru menyimpang atau berlainan dari proses humanisasi. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodrat dan kaidahnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
Dehumanisasi pendidikan dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, oleh pelaku pendidikan atau guru, oleh masyarakat atau orang tua. Dehumanisasi pendidikan juga bisa berlangsung dengan aturan pendidikan itu sendiri, dan pengaruh budaya lingkungan yang ada.
Permasalahan Humanisasi dan Dehumanisasi Pendidikan
Dalam artikel ini akan dibahas dehumanisasi
pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah, oleh guru dan oleh lingkungan masyarakat
Pembahasan Humanisasi dan Dehumanisasi Pendidikan
Darmaningtyas, tokoh vokal yang kini menjadi pengurus Majelis Luhur Taman Siswa memberi gambaran persoalan pendidikan dasar di Indonesia. Ia membedakan dalam 3 permasalahan, yakni:
- Makro, meliputi persoalan filosofis, ideologi dan budaya;
- Meso (tengah), yang meliputi masalah kebijakan, politik pendidikan dan otonomi daerah; serta
- Mikro, yang mencakup angka partisipasi pendidikan, angka DO, kelulusan, gedung, prasarana dan sarana.
Semua bicara pendidikan. Semua bicara solusi. Darmaningtyas memberi
wacana yang sarat politik: ”Utang dan korupsi, racun pendidikan”. Ya, akar
masalah yang makin memberatkan makro, meso dan mikro adalah ketidakefisienan
dan kebocoran anggaran alias korupsi.
A. Dehumanisasi Pendidikan oleh Pemerintah.
Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah semestinya mampu menjadi ruang untuk melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat, esensi pendidikan tersebut sepertinya telah jauh dari harapan yang ada. Dalam era reformasi sekarang ini, kritik terhadap kebijakan memang perlu diberikan. Kebijakan pendidikan yang terindikasi mengandung isu ketidakadilan dan dehumanisasi memang perlu dicermati. Tetapi, terlalu buru-buru memberikan penilaian bahwa suatu kebijakan itu bersifat tidak adil dan dehumanisasi, sudah barang tentu juga tidak bijak. Dehumanisasi pendidikan memang perlu dihindari, karena hakikat dasar pendidikan adalah proses humanisasi pendidikan.
1. Kontroversi Ujuan Nasional
Pemberlakukan UN dengan standar pencapaian nilai minimum yang akan
menentukan vonis lulus tidaknya peserta didik tanpa menghiraukan penyebab
dibalik ketidaklulusan peserta didik, sama halnya dengan memperlakukan peserta
didik sebagai benda mati. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai
manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah
yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.
Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda.
Pada akhirnya, pendidik lah
yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan
standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak
lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’.
Penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah
praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh
peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan
yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam
konstitusi. Padahal menurut Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan
tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bila seorang
peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka
hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk
yang dimiliki oleh manusia.
Pendidikan sebenarnya terjadi sepanjang hayat dan ‘kehidupanlah’ yang berhak menilai seorang individu, lain halnya dengan persekolahan yang hanya sebagian kecil dari proses pendidikan, dan dijalani peserta didik dalam kurun waktu yang terbatas. Education is not schooling, sehingga penyamaan makna pendidikan dengan persekolahan akan membuat makna pendidikan tereduksi menjadi sangat sempit.
2. Pengelompokan Akademis
Kebijakan dan praktek pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis (ability grouping) baik di dalam kelas, sekolah, maupun antar sekolah merupakan salah satu topik penelitian dan perbincangan yang kontroversial di kalangan para pendidik. Banyak kritik praktek pembagian siswa berdasarkan kemampuan akademis dengan beberapa alasan.
Pertama, kriteria yang biasanya digunakan untuk membagi siswa seringkali merupakan persepsi subyektif dan pemahaman yang sempit mengenai konsep kecerdasan anak.
Kedua, pengelompokan akan menimbulkan pelabelan anak (pintar, bodoh, cepat, lamban) dan kerancuan antara konsep kecepatan belajar dengan kapasitas belajar.
Ketiga,
penempatan anak pada kelompok atau jalur yang berbeda akan mengarah pada
harapan, target, dan ekspektasi yang berbeda pula terhadap anak padahal ada
penelitian yang mendukung bahwa motivasi dan hasil belajar anak terkait secara
positif dengan ekspektasi guru dan mitra belajarnya. Sekali anak
dimasukkan dalam satu kelompok tertentu, kemungkinan sangat besar anak tersebut
akan tetap tinggal di kelompok itu sampai akhir masa sekolahnya. Vonis
mengenai kemampuan anak pada masa pendidikan sama dengan ramalan yang akan
menjadi kenyataan.
3. Pengelompokan Sosio-Ekonomis
Pembagian jalur yang dilakukan berdasarkan kemampuan finansial anak, membawa dampak amat serius dan membawa berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang homogen. Anak-anak dari keluarga mampu akan berinteraksi dengan anak-anak lain yang setara secara sosio-ekonomis dan demikian pula dengan anak-anak miskin. Padahal seharusnya anak-anak dari berbagai latar belakang sosio-ekonomis bisa saling berinteraksi dan memperkaya dengan pengalaman hidup mereka masing-masing.
Sempitnya lingkungan
belajar selama masa sekolah akan membuat anak kehilangan kesempatan untuk
mengembangkan empati dan solidaritas terhadap orang lain yang berbeda.
Anak perlu belajar mengembangkan kemauan dan kemampuan untuk mengenal dan
menghargai manusia lain sebagai seorang individu yang utuh dan bukannya sebagai
anggota suatu kelompok yang asing dan mengancam.
Realita di masyarakat saat ini, terutama di
kota-kota besar, memang sudah menunjukkan pemisahan warga masyarakat
berdasarkan kelas seperti yang terlihat di lingkungan pemukiman, pusat
perbelanjaan, sekolah, tempat rekreasi, dan bahkan tempat ibadah. Yang
seharusnya dilakukan oleh para pembuat kebijakan pendidikan adalah mendesain
model pendidikan yang bisa menyiapkan anak-anak agar nantinya mereka bisa menjadi
agen perubahan dan mendobrak berbagai sekat dalam masyarakat.
Di balik segala keteraturan dalam
masyarakat Brave New World seperti yang dijanjikan dalam
jargon mereka Komunitas, Identitas, dan Stabilitas, ada proses dehumanisasi
manusia. Pembagian anak ke dalam jalur pendidikan formal standar atau
mandiri di Indonesia juga akan menghasilkan komunitas anak bangsa yang
tersekat-sekat, identitas sebagai hasil dari proses yang diskriminatif, dan
stabilitas yang hanya menguntungkan penguasa. Di balik segala tatanan
yang nampaknya teratur itu muncul suatu kegamangan karena segala upaya
pengelompokan dan pengkondisian manusia sesuai label yang diciptakan penguasa
telah mencerabut kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan mencapai
yang terbaik yang dia bisa.
Kondisi seperti inilah yang semakin membuat
rakyat miskin sulit dan terjepit untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya.
Boro-boro memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya untuk hidup sehari-hari saja
sudah megap-megap. Tetapi kenyataannya biaya pendidikan tidak mengalami
perubahan bahkan semakin membuat sesak dada. Jika sudah demikian siapa yang
menjadi korban? Tentunya masyarakat kelas bawah yang mempunyai penghasilan
pas-pasan. Memang sungguh tragis nasib orang miskin.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Di mana Anak Miskin Bersekolah?,
secara “nakal” Darmaningtyas, pengamat pendidikan
mengkategorikan empat golongan yaitu pertama anak kaya dan pintar, kedua, anak
pintar tapi miskin, ketiga, anak bodoh tapi kaya, dan yang keempat anak miskin
dan bodoh (Kompas, 19/07/04). Dari keempat kategori ini, anak bodoh
dan miskin akan mengalami nasib yang tidak beruntung karena mereka akan
mendapat sekolah swasta yang tidak bermutu atau pinggiran yang minim sarana dan
prasarana, mutu jelek, disiplin rendah dan biaya tinggi karena ditanggung
sepenuhnya oleh murid.
Masyarakat miskin dan bodoh itu harus menanggung penuh
pembiayaan sekolah karena sekolah-sekolah itu tidak mendapat subsidi
pemerintah. Kalau pun dapat hanya kecil dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri
atau sekolah yang sudah mapan. Ini suatu ironi dalam kebijakan pendidikan
nasional yang miskin membayar lebih banyak untuk mendapatkan yang sedikit,
sedangkan yang kaya membayar sedikit untuk mendapatkan yang banyak.
4. Korban politik
Pendidikan memang sasaran empuk
dikomoditaskan secara politik. Ketika musim kampanye isu pendidikan dijadikan
bahan penarik simpati. Pendidikan gratis atau murah kerap diwacanakan namun
tidak pernah menjadi kenyataan. Selalu ada cara membebani peserta didik dan orang
tuanya dengan aneka pungutan, karena baik negeri dan swasta sudah terbangun
image pendidikan yang bagus adalah yang mahal.
Peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri
dan bisnis. Salah satu contoh paling nyata adalah asumsi bahwa apa yang
diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Prestasi guru juga diukur
dari nilai yang didapat peserta didiknya. Guru sebagai pendidik tidak mampu
menghentikan dehumanisasi ini karena guru sendiri terjebak sebagai obyek dalam
sistem pendidikan nasional.
Dilain pihak (interelasi antara teori dan praktek) pendidikan masa orde baru masih menyisahkan persoalan filosofis yang amat mendasar karena kebijakan orde baru yang menempatkan pendidikan untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan yang akhirnya terabaikannya perkembangan manusia sebagai individu yang bebas. Citra diri manusia sebagai individu, lebur kedalam sistem politik yang sentralistik, hegemonik dan totalitarian.
Faktor lain yang turut menghambat proses pendidikan adalah ketersediaan fasilitas seperti ruang kelas, kinerja guru, kinerja subjek didik, buku, laboratorium, tempat praktek, manajemen sekolah, kurikulum sekolah, partisipasi orang tua, pertisipasi masyarakat, praksisi pendidikan dikeluarga, pendidikan guru dan lain-lain.
Permasalahan dalam dunia pendidikan seperti ini tentunya menyeret opini publik akan kinerja pengelola pendidikan dinegeri yang multi krisis ini. Sangat wajar jika banyak kalangan menilai bahwa pendidikan tak berubah dan masih seperti kekuasaan yang bisa dipermainkan kapan saja dan dimana saja sehingga membuat mandul dan kurang produktif dalam membuat dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan pendidikan yang lebih dinamis. Seperti bandul, pendidikan nasional terus terombang ambing dalam kebijakan dan praktik politis pendidikan yang tidak jelas dari pendidikan itu sendiri. Padahal, menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa maksud dari pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
B. Dehumanisasi Pendidikan yang dilakukan Guru.
1. Guru kasar dalam kelas.
Potret yang paling telanjang para guru
tengah mengalami belenggu kemiskinan, finansial, intelektual, emosional,
kultural dan spiritual (Anita Lie, 2008). Akibatnya, semakin menjadi kebiasaan
guru yang bekerja sampingan sehingga tugas utamanya sebagai pendidik
terlupakan, jarang membaca dan belajar, karena terbebani urusan administrasi,
cenderung berlaku kasar dan mengumpat, dan pada akhirnya kehilangan identitas
dan integritas. Makin jarang dijumpai guru yang mengajar dengan cinta kasih.
Guru yang memberikan sepenuh waktu dan hidupnya untuk kesejahteraan hidup
peserta didiknya. Guru yang merasa gembira ketika peserta didiknya berhasil dan
guru yang merasa bersedih ketika menyaksikan peserta didiknya gagal dalam
mencapai tujuan dan cita-citanya. Guru-guru yang demikian hanya akan lahir
dalam suasana pembentukan yang memang mengedepankan aspek pemanusiaan dan
pembudayaan.
Karena itu mesti dicatat, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan bekerja di
pabrik. Menjadi guru adalah membentuk manusia. Ia menggantikan peran orang tua
yang menyerahkan seluruh tanggung jawab sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk
dan diarahkan. Ketika guru lupa menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini
dapat ditebak, arah pendidikan dan pembentukan kian samar-samar dan kabur.
Pekerjaan sebagai guru tak lagi sebuah panggilan. Padahal motivasi sosial
inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang menjadi guru. Proses
pendidikan di dalam kelas tidak terjadi proses humanisasi, melainkan
dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang diisi dengan muatan yang
sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak menyenangkan,
dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM (pembelajaran
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang
berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena
itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus
sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia
pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar,
masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar
memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap
kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan
pelecehan dalam proses pendidikan.
2. Guru Otoriter
Sistem dengan gaya komando ini hanya akan
mengakibatkan interaksi antara guru dengan murid bersifat otoriter, dan
membatasi gerak dari anak didik karena adanya kesan bahwa murid harus selalu
tunduk dan hak-hak mereka untuk membantah dalam hal yang positif atau bertanya
secara kritis dibatasi. Menurut Romo Mangun semestinya
pendidikan di sekolah harus terbuka dan menjadi peristiwa perjumpaan
antarpribadi yang saling mengasihi dan sebagai ajang untuk menjalin kemitraan,
bukan penjinakan terhadap mereka, dengan adanya interaksi yang baik maka akan
menumbuhkan rasa persaudaraan yang menggembiraka.
Juga masih seringnya kita jumpai sistem hafalan yang sering didrill di sekolah. Sistem seperti ini dirasa kurang begitu pas karena anak didik tidak akan bisa mengembangkan kreativitas daya pikirnya sesuai pengalaman mereka sendiri dan ini akan menjadi hambatan bagi anak didik untuk mandiri. Sistem pendidikan yang seperti ini sudahkah memanusiakan anak didik? Bukankah sistem seperti ini hanya akan membuat anak didik kerdil dalam berkreasi dan jalan di tempat saja?
C. Dehumanisasi Pendidikan oleh Lingkungan Masyarakat.
Pengamat pendidikan dari Perguruan Taman
Siswa Ki Darmaningtyas menilai, terjadinya dehumanisasi
pendidikan tidak lepas karena pengaruh lingkungan dari luar sekolah. ''Ini
terjadi karena di sekolah waktunya terbatas, sementara di luar lebih banyak
waktu dinikmati oleh pelajar. Karena itu, lingkungan masyarakat memainkan
peranan, namun yang paling dominan adalah pengaruh media massa.
Selain melaui media massa , banyak tersaji
perilaku masyarakat yang telanjang terlihat oleh anak- anak kita, dengan
kecurangan dan jauh dari sifat mendidik, diantaranya :
- Saling salip-menyalip dalam berkendara kendaraan bermotor tanpa menghiraukan aturan lalu lintas dengan benar.
- Budaya antri baik pelayanan umum atau penggunaan fasilitas umum sudah sangat mahal harganya, sehingga yang terjadi saling serobot dengan kepentingan pribadinya sendiri,
- Perilaku semau gue , cuek dan bangga atas perilaku yang jauh dari kesopanan dan kearifan sering terlihat pada perilaku hampir semua masyarakat.
- Perilaku curang dalam bekerja atau mencari nafkah baik yang berstatus abdi negara atau partikelir, bahkan menghalalkan budaya korupsi.
- Tidak malu berbuat salah, melanggar aturan atau norma .
- Mudah marah dan menimbulkan keonaran, pertengkaran dengan sebab yang sepele.
- Mengagungkan materi, sehingga semua gerak harus diukur dengan keuntungan materi semata.
- Pelacuran yang sebenarnya, sampai pada pelacuran dalam kiasan yaitu pelacuran pendidikan, pelacuran politik dll.
Menurut Darmaningtyas, media massa, dalam hal ini televisi, justru memberikan inspirasi dan kesan yang mendalam pada pelajar dan mahasiswa, khususnya pada tayangan yang berbau seksual dan kekerasan. Sebab itu lanjutnya, tak mengherankan pula, jika akhir-akhir ini, banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam kekerasan, juga terjebak dalam degradasi moral, baik di sekolah maupun di luar sekolah,'' ujarnya. Tak aneh ketika buahnya adalah kekerasan dalam pendidikan yang kian merebak. Peserta didik lebih mendengarkan nasihat televisi, film kartun ketimbang nasihat para gurunya. Bunuh diri, kekerasan guru dan peserta didik, antar peserta didik menjadi ulasan media yang terus-menerus terjadi.
KESIMPULAN
1. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
2. Dehumanisasi pendidikan dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, oleh pelaku pendidikan atau guru, oleh masyarakat atau orang tua. Dehumanisasi pendidikan juga bisa berlangsung dengan aturan pendidikan itu sendiri, dan pengaruh budaya lingkungan yang ada.
3. Dehumanisasi pendidikan dapat berupa :
- Pelaksanaan Ujian nasional bagi siswa .
- Pengelompokan siswa berdasar kekuatan dan kemampuan akademik.
- Pengelompokan siswa berdasar kekuatan dan kemampuan ekonomi.
- Pendidikan terkontaminasi politik penguasa.
- Guru kasar dalam kelas.
- Guru otoriter
- Perilaku masyarakat yang jauh dari nilai pendidikan anak.
- Media massa yang menyajikan segala bentuk tayangan negatif bagi anak.
4. Para pengajar diharapkan untuk kembali pada hakikat pendidikan dan tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Sehingga, sekolah dan kampus dapat menjadi tempat yang berfungsi sebagaimana mestinya, yakni pencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa, tanpa kekerasan dan pelecehan.
5. Pekerjaan
sebagai guru tidak sama dengan bekerja di pabrik. Menjadi guru adalah membentuk
manusia. Ia menggantikan peran orang tua yang menyerahkan seluruh tanggung jawab
sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk dan diarahkan. Ketika guru lupa
menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini dapat ditebak, arah pendidikan
dan pembentukan kian samar-samar dan kabur.
- Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
- Anonim,
2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
- http/www.satriadharma.wordpress.com
- Ki Darmaningtyas, Dampak Dehumanisasi Pendidikan makin meluas :sebuah artikel.
- Media
Indonesia “ Pendidikan jadi lahan bisnis “ 20 Pebruari 2008
